Gegap gempita penerimaan mahasiswa baru di kampus Universitas Hasanuddin telah menjadi ritual yang rutin dilakukan setiap tahun. Ritual itu berjalan dalam hingar-bingar pertarungan ideologi, kepentingan, kekuasaan dan sebagainya, yang bertabrakan dalam satu lapangan yang bernama Unhas. Universitas yang seharusnya tempat untuk bersemainya kader bangsa dan kader umat untuk membangun peradaban bangsa yang bermartabat, justru hanyut dalam jebakan pragmatisme yang terlalu liar sehingga sulit untuk dikendalikan dengan akal sehat. Unhas hampir saja kehilangan tanggungjawab sosialnya, karena yang muncul adalah keinginan menciptakan generasi baru yang pintar, cerdas dan “patuh” pada permainan-permainan institusi yang menyesatkan.
Mereka yang dianggap sebagai kader bangsa adalah mereka yang selalu mengikuti aturan, disiplin pakaian dan disiplin juga “cara berpikirnya”. Padahal cara berpikir seperti ini adalah sama dengan cara berpikir Belanda ketika menjajah
Pendidikan
Karena itu, saat ini, anak-anak muda belia yang menginjakkan kaki di perguruan tinggi manapun – termasuk Unhas – adalah anak kandung masa lalu, karena institusi pendidikan bukan untuk membebaskan, memandirikan pikran-pikiran individu, tetapi justru institusi pendidikan telah menjadi industri pengetahuan. Mahasiswa sudah pasti adalah kaum intelegensia, karena itu mereka sudah bisa dipastikan menjadi buruh. Namun para buruh ini ketika punya modal (hanya segelintir orang yang punya modal) akan menindas mereka yang bekerja pada perusahaannya. Karena pendidikan bukan untuk memerdekkan, tetapi untuk membelenggu pikiran yang merdeka. Anda dipaksa hafal pasal-pasal, rumus-rumus, dan teori-teori yang tidak masuk akal. Padahal tujuan utamanya hanya satu, yaitu menjadikan anda sebagai buruh yang patuh.
1 komentar:
Selamat berjuang ya teman-teman. Fastabiqul khaerat
Posting Komentar