Sekitar permulaan tahun 2009 yang lalu, menarik jika kita memperhatikan sebuah acara budaya yang diadakan oleh teman-teman mahasiswa yang bertajuk pesta kenduri yang dilaksanakan sangat mengesankan dengan berbagai tata panggung yang cukup sederhana namun membuat penontonnya dapat menarik makna yang ingin disampaikan di acara ini. Kemudian di dalamya banyak diisi dengan pementasan musik tradisional, teater dan tari-tarian tradisional yang mungkin saja jarang dilihat di tengah-tengah kebiasaan pemuda sekarang khususnya mahasiswa dalam upaya melestarikannya, mengingat kebiasaan yang dilakukan tiap tahunnya oleh para mahasiswa yang dinamai Inaugurasi baik itu dalam skala jurusan dan fakultas yang lebih banyak menampilkan budaya barat yang dianggap dunia ke”modern”aan setidaknya dibandingkan dengan acara Kenduri ini yang kesemuanya diisi dengan kebudayaan Indonesia.
Hal ini kemudian menarik perhatian penulis dimana ditengah kemerosotan nilai-nilai moral kebudayaan lokal Indonesia di kalangan masyarakat Indonesia khususnya para pemuda(i) yang merupakan generasi penerus bangsa, dapat disaksikan bahwa degradasi pengetahuan mengenai budaya sendiri di kalangan pemuda bangsa sendiri yang kemudian banyak tertutupi dengan masuknya budaya-budaya barat atau yang sering kita kenal dengan kata globalisasi dan terkadang dijadikan kiblat para pemuda bangsa sebagai sebuah simbol ke”moderen”an dalam berperilaku. Kemudian muncul sebuah ketakutan ketika pemuda bangsa Indonesia sebagai generasi penerus bangsa lebih suka dibilang tak berbudaya ketimbang tidak keren atau modis dalam istilah dunia fashion misalnya. Kita seringkali merasa mempunyai kebudayaan setelah dicaplok oleh bangsa lain, contoh misalnya adalah pengakuan batik oleh malaysia sebagai miliknya maka ramai-ramailah kita mengutuk perbuatan itu padahal kita tidak pernah melihat diri sendiri, apakah kita sudah menjaga atau melestarikan budaya sendiri agar hal itu tidak diakui oleh megara lain dengan seenaknya?
Menarik memang ketika kita kemudian menarik sebuah benang merah antara pementasan budaya ini di mana adanya himpitan dari penayangan sinetron-sinetron Indonesia yang tidak jelas ujung pangkalnya yang sekarang banyak kita lihat di dalam layar kaca Indonesia. Kemudian warna dalam dunia perfilman kita yang banyak diwarnai oleh proses percintaan yang kemudian dibumbui oleh tokoh-tokoh protagonis yang kejam dan sering menampilkan adegan-adegan kekerasan yang terkadang menimbulkan sebuah pertanyaan apakah ada manusia yang tega berbuat seperti ini di dalam dunia nyata tentunya. Apalagi ditambah dengan film-film yang banyak berbau horror (mistis) ataupun seks yang sangat tidak memberikan sebuah informasi positif bagi penontonnya. Apakah kemudian film-film di Indonesia tidak dapat lagi memberikan sebuah nilai-nilai positif bagi masyarakat atau film Indonesia hanya menjadi barang dangangan para kapitalis di negeri ini saja? Perlu kita ingat bahwa pengaruh televisi sangat besar dalam tingkah laku anak negeri, misalnya saja maraknya video kekerasan anak sekolah maupun peristiwa perkelahian anak akibat meniru gaya gulat bebas di televisi. Tentunya ini kemudian menajdi tantangan kita untuk kemudian bagaimana menfilternya dengan menggunakan kekayaan kearifan lokal sendiri dan pelajaran bagi anak – anak bangsa untuk senantiasa melestarikan budaya nasional.
Kembali ke permasalahan awal tulisan ini mengenai pemuda dan budaya yang merupakan hasil penerjemahan instrument-instrumen acara yang di berikan dalam acara kenduri ini. Walaupun memang ini tidak dapat menjadi sebuah tolak ukur untuk mengklaim secara menyeluruh bahwa antara pemuda dan budaya bangsa Indonesia mulai saling menjauhi atau mungkin ini dapat dilihat dari banyaknya pemuda(i) yang kurang begitu paham dengan budayanya sendiri agar kita tak terjerembab dalam over generalisasi, karena masih ada kelompok-kelompok pemuda ( mahasiswa ) yang masih peduli dengan kearifan lokal namun tetap menjaganya sebagai upaya penanaman sikap Nasionalisme di dalam dirinya. Namun dari hal hal tersebut adanya pencitraan kebudayaan nasional itu hanya urusan orang dulu dan pandangan kekolotan yang terkandung didalamnya sehingga para pemuda terkadang merasa risih untuk menjalaninya ataupun karena besarnya pengaruh budaya barat yang cukup membuat kabut hitam diantara pemuda dan budaya bangsanya sendiri. Yang semestinya kita merupakan pemengang tongkat estafet ini untuk menjaga itu semua.
Pementasan dari beberapa jenis kesenian tradisional modern yang dikemas dalam acara ini kemudian menjadi menarik untuk disaksikan. Ternyata kebudayaan kita begitu plural atau bermacam-macam dan begitu indah yang memungkinkan bagi Negara lain untuk iri terhadap apa yang dimiliki bangsa ini. Tetapi kemudian apakah dengan beragamnya kebudayaan kita yang tidak mungkin dimiliki oleh Negara lain di dunia ini hanya sebatas menjadi kebanggaan saja yang kemudian membawa kita pada berbangga-bangga ria serta lupa bahwa ada beberapa jenis kebudayaan yang merupakan hak milik bangsa ini dan di klaim oleh bangsa/Negara lain sebagai miliknya? Kita terkadang lebih bangga dengan slogan-slogan bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang beragam dan unik tanpa ada upaya untuk turut melestarikannya walaupun itu dengan sebatas mempelajarinya sebagai sebuah teks saja atau formalitas dalam mata pelajaran atau kuliah saja..
Kekrisauan akan permasalahn kebudayaan Indonesia di kalangan pemuda(i) ketika menyaksikan pertunjukan ini adalah pertama dilihat dari kuantitas mahasiswa yang tidak sempat menyaksikan acara ini yang sesungguhnya sangat menarik. Walapun dengan keterpurukan kepedulian tentang kebudayaan bangsa ini adalah apakah mereka yang menyaksikan acara ini kemudian karena tertarik dengan ini semua ataua hanya sekedar menyaksikan saja untuk mengisi waktu, atau hanya untuk menyaksikan temannya yang tampil tanpa melihat isi kandungan dari pelaksanaan pertunjukan ini.
Terakhir mungkin untuk menyelesaikan tulisan yang sangat sederhana ini adalah keragaman budaya adalah anugerah dan bukan musibah, serta nilai-nilai keragaman budaya mulai tercerabut dari pemahaman awalnya yang kemudian diwarnai oleh budaya-budaya asing yang kita tiru tanpa adanya analisis kritis terlebih dahulu. Kita akan lebih merasa keren memakai pakaian model barat ketimbang memakai batik karena nanti di bilang layaknya orang tua dan kampungan bukan kotaan. Menyikapi ini adalah mestinya para pemuda Indonesia kemudian menjadi pelopor menglobalkan Indonesia dan bukannya mengindonesiakan globalisasi tentunya dengan keragaman budaya yang kita miliki sebagai sebuah kebanggaan tersendiri.sebagai kata terakhir bapak proklamator kita Moh. Hatta pernah berkata dalam kuliahnya ”Pemuda adalah penghias yang indah dalam pandangan-pandanganku untuk Indonesia yang maju di masa depan”.
Oleh : Andy Arya Maulana W
Pikom IMM FISIP UNHAS